Selasa, 13 Agustus 2019

ABAYI DAN JINGGA

Rabu, 1 januari 2019 dini hari tadi.

Selepas hujan deras mengguyuri kota malam ini, aku duduk di teras sendirian bersama susu putih hangat yang kuseduh sendiri. Aku tidak suka coklat. Abayi tiba-tiba menemuiku dan duduk disebelahku sambil memegang frank, boneka hati kami.
Abayi menggeser posisi duduknya menjadi menatap ke arahku.
"Jingga" kata abayi membuka pembicaraan.
"Iya yii?" Tanyaku, kuletakkan cangkir pink milikku yang berisi susu putih hangat.
"Kau tidak bisa tidur lagi yah? " tanyanya.
Aku mengangguk mantap.
"Jingga, kamu tau ini jam berapa ? " tanya abayi.
"Jam 3 pagi?"
"Jingga, nanti kalau kau di culik kuntilanak atau genderuwo, abayi tidak akan tidur 7 hari 7 malam"
Aku tertawa mendengar ucapan dari pria yang sebentar lagi akan berusia 21 tahun ini.
"Kemarin aku suruh abayi membersihkan lemari abayi saja, abayi sudah tepar, mendengkur di atas sofa sampe maghrib, untuk tidak lupa sembahyang" ujarku.
"Ini konteks yang berbeda, kehilangan seseorang yang ku sayang akan membunuh setengah jiwaku" bela abayi.
"Abayi, aku tidak bisa tidur karena kau tau kan, terkadang fikiranku berkeliaran kesana-kemari mencari fikiran lain untuk diingat lagi, susu hangat ini menjadi pendampingku ketika fikiran-fikiran itu datang" ujarku.
Abayi memelukku dengan hangat, cuaca di kota memang dingin apalagi habis hujan turun ditambah angin malam yang datang. Tapi abayi seperti bara api yang di hidupkan orang-orang ketika musim dingin tiba, dia menghangatkan.
"Jingga, ketika seseorang pergi dari hidupmu nanti, kamu tidak boleh menangis, tidak boleh sedih, dan tidak boleh keluar jam 3 pagi lagi"
"Ini sebuah kalimat peringatan lagi, yah yii?" Tanyaku.
Abayi tidak menjawab, dia mempererat pelukannya.
"Nad, kau, jingga dan frank adalah hal yang cukup untukku" ucap abayi.
"Abayi, kenapa abayi senang memanggilku jingga? Namaku kan nadia" tanyaku.
Mata abayi menatap pemadangan teras dengan dalam, aku bisa merasakan ia masuk ke dalam sebuah memori masa kecilnya.
"Almarhumah ibukku dulu selalu memanggilku jingga, katanya kalo aku dulu bayi perempuan dia akan memanggilku jingga, tapi Tuhan punya pendapat sendiri, aku lah yang lahir ke rahim ibu, tapi ibuk tetap memanggilku jingga, katanya aku seperti jingga" ujarnya sambil tersenyum.
"Abayi" ucapku dengan nada mengantuk.
"Iya?"
"Aku mau tidur"
Mataku perlahan kupejamkan, mungkin karena susu putih hangat yang kubuat tadi berefek membuatku menjadi ingin tidur apalagi abayi mendekapku begitu hangat. Satu kesatuan yang menenangkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar